mapaba PMII

mapaba PMII
seasen

Minggu, 27 Desember 2009

Saudaraku, yang
semoga selalu
mendapatkan taufik dan
hidayah Allah Ta ’ala. Dari
hasil penelitian dari Al
Qur ’an dan As Sunnah,
para ulama membuat
dua kaedah ushul fiqih
berikut ini:
Hukum asal untuk
perkara ibadah
adalah terlarang
dan tidaklah
disyari ’atkan
sampai Allah dan
Rasul-Nya
mensyari ’atkan.
Sebaliknya, hukum
asal untuk perkara
‘ aadat (non ibadah)
adalah dibolehkan
dan tidak
diharamkan sampai
Allah dan Rasul-Nya
melarangnya.
Apa yang dimaksud dua
kaedah di atas?
Untuk kaedah pertama
yaitu hukum asal setiap
perkara ibadah adalah
terlarang sampai ada
dalil yang
mensyariatkannya.
Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa ibadah
adalah sesuatu yang
diperintahkan atau
dianjurkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang
memerintahkan atau
menganjurkan suatu
amalan yang tidak
ditunjukkan oleh Al
Qur ’an dan hadits, maka
orang seperti ini berarti
telah mengada-ada
dalam beragama (baca:
berbuat bid ’ah). Amalan
yang dilakukan oleh
orang semacam ini pun
tertolak karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“ Barangsiapa
melakukan suatu
amalan yang bukan
ajaran kami, maka
amalan tersebut
tertolak. ” (HR.
Muslim no. 1718)
Namun, untuk perkara
‘ aadat (non ibadah)
seperti makanan,
minuman, pakaian,
pekerjaan, dan
mu ’amalat, hukum
asalnya adalah
diperbolehkan kecuali
jika ada dalil yang
mengharamkannya.
Dalil untuk kaedah
kedua ini adalah firman
Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم
مَّا فِي الأَرْضِ
جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala
yang ada di bumi
untuk kamu ”. (QS.
Al Baqarah: 29).
Maksudnya, adalah Allah
menciptakan segala
yang ada di muka bumi
ini untuk dimanfaatkan.
Itu berarti diperbolehkan
selama tidak
dilarangkan oleh syari’at
dan tidak
mendatangkan bahaya.
Allah Ta’ala juga
berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ
اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ
لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ
مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي
لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
خَالِصَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah:
“Siapakah yang
mengharamkan
perhiasan dari Allah
yang telah
dikeluarkan-Nya
untuk hamba-
hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang
mengharamkan)
rezki yang baik ?”
Katakanlah:
“ Semuanya itu
(disediakan) bagi
orang-orang yang
beriman dalam
kehidupan dunia,
khusus (untuk
mereka saja) di hari
kiamat .”
Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-
ayat itu bagi orang-
orang yang
mengetahui. ” (QS. Al
A’raaf: 32).
Dalam ayat ini, Allah
Ta ’ala mengingkari siapa
saja yang
mengharamkan
makanan, minuman,
pakaian, dan
semacamnya.
Jadi, jika ada yang
menanyakan mengenai
hukum makanan
“ tahu”? Apa hukumnya?
Maka jawabannya
adalah “tahu” itu halal
dan diperbolehkan.
Jika ada yang
menanyakan lagi
mengenai hukum
minuman “Coca-cola”?
Apa hukumnya? Maka
jawabannya juga sama
yaitu halal dan
diperbolehkan.
Begitu pula jika ada
yang menanyakan
mengenai jual beli
laptop? Apa hukumnya?
Jawabannya adalah
halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara non
ibadah seperti tadi,
hukum asalnya adalah
halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
Makan bangkai menjadi
haram, karena dilarang
oleh Allah dan Rasul-
Nya. Begitu pula pakaian
sutra bagi laki-laki
diharamkan karena ada
dalil yang menunjukkan
demikian. Namun
asalnya untuk perkara
non ibadah adalah halal
dan diperbolehkan.
Oleh karena itu, jika
ada yang
menanyakan pada
kami bagaimana
hukum Facebook?
Maka kami jawab
bahwa hukum asal
Facebook adalah
sebagaimana
handphone, email,
blog, internet, radio,
dan alat-alat
teknologi lainnya
yaitu sama-sama
mubah dan
diperbolehkan.
Hukum Sarana sama
dengan Hukum Tujuan
Perkara mubah (yang
dibolehkan) itu ada dua
macam. Ada perkara
mubah yang dibolehkan
dilihat dari dzatnya dan
ada pula perkara mubah
yang menjadi wasilah
(perantara) kepada
sesuatu yang
diperintahkan atau
sesuatu yang dilarang.
Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di –
rahimahullah-
mengatakan,
“Perkara mubah
dibolehkan dan
diizinkan oleh
syari ’at untuk
dilakukan. Namun,
perkara mubah itu
dapat pula
mengantarkan
kepada hal-hal
yang baik maka dia
dikelompokkan
dalam hal-hal yang
diperintahkan.
Perkara mubah
terkadang pula
mengantarkan
pada hal yang jelek,
maka dia
dikelompokkan
dalam hal-hal yang
dilarang.
Inilah landasan
yang harus
diketahui setiap
muslim bahwa
hukum sarana
sama dengan
hukum tujuan (al
wasa-il laha
hukmul
maqhosid) .”
Maksud perkataan
beliau di atas:
Apabila perkara mubah
tersebut mengantarkan
pada kebaikan, maka
perkara mubah tersebut
diperintahkan, baik
dengan perintah yang
wajib atau pun yang
sunnah. Orang yang
melakukan mubah
seperti ini akan diberi
ganjaran sesuai dengan
niatnya.
Misalnya : Tidur adalah
suatu hal yang mubah.
Namun, jika tidur itu bisa
membantu dalam
melakukan ketaatan
pada Allah atau bisa
membantu dalam
mencari rizki, maka tidur
tersebut menjadi
mustahab (dianjurkan/
disunnahkan) dan akan
diberi ganjaran jika
diniatkan untuk
mendapatkan ganjaran
di sisi Allah.
Begitu pula jika perkara
mubah dapat
mengantarkan pada
sesuatu yang dilarang,
maka hukumnya pun
menjadi terlarang, baik
dengan larangan haram
maupun makruh.
Misalnya : Terlarang
menjual barang yang
sebenarnya mubah
namun nantinya akan
digunakan untuk
maksiat. Seperti menjual
anggur untuk dijadikan
khomr.
Contoh lainnya adalah
makan dan minum dari
yang thoyib dan mubah,
namun secara
berlebihan sampai
merusak sistem
pencernaan, maka ini
sebaiknya ditinggalkan
(makruh).
Bersenda gurau atau
guyon juga asalnya
adalah mubah. Sebagian
ulama mengatakan,
“ Canda itu bagaikan
garam untuk makanan.
Jika terlalu banyak tidak
enak, terlalu sedikit juga
tidak enak. ” Jadi, jika
guyon tersebut sampai
melalaikan dari perkara
yang wajib seperti shalat
atau mengganggu orang
lain, maka guyon seperti
ini menjadi terlarang.
Oleh karena itu, jika
sudah ditetapkan hukum
pada tujuan, maka
sarana (perantara)
menuju tujuan tadi akan
memiliki hukum yang
sama. Perantara pada
sesuatu yang
diperintahkan, maka
perantara tersebut
diperintahkan. Begitu
pula perantara pada
sesuatu yang dilarang,
maka perantara
tersebut dilarang pula.
Misalnya tujuan tersebut
wajib, maka sarana
yang mengantarkan
kepada yang wajib ini
ikut menjadi wajib.
Contohnya : Menunaikan
shalat lima waktu adalah
sebagai tujuan. Dan
berjalan ke tempat
shalat (masjid) adalah
wasilah (perantara).
Maka karena tujuan tadi
wajib, maka wasilah di
sini juga ikut menjadi
wajib. Ini berlaku untuk
perkara sunnah dan
seterusnya. Intinya, Hukum
Facebook adalah
Tergantung
Pemanfaatannya
Jadi intinya, hukum
facebook adalah
tergantung
pemanfaatannya. Kalau
pemanfaatannya adalah
untuk perkara yang sia-
sia dan tidak
bermanfaat, maka
facebook pun bernilai
sia-sia dan hanya
membuang-buang
waktu. Begitu pula jika
facebook digunakan
untuk perkara yang
haram, maka hukumnya
pun menjadi haram. Hal
ini semua termasuk
dalam kaedah “al wasa-
il laha hukmul maqhosid
(hukum sarana sama
dengan hukum tujuan). ”
Di bawah kaedah ini
terdapat kaedah derivat
atau turunan yaitu:
1. Maa laa
yatimmul wajibu
illah bihi fa huwa
wajib (Suatu yang
wajib yang tidak
sempurna kecuali
dengan sarana ini,
maka sarana ini
menjadi wajib)
2. Maa laa
yatimmul masnun
illah bihi fa huwa
masnun (Suatu
yang sunnah yang
tidak sempurna
kecuali dengan
sarana ini, maka
sarana ini menjadi
wajib)
3. Maa
yatawaqqoful
haromu ‘alaihi fa
huwa haromun
(Suatu yang bisa
menyebabkan
terjerumus pada
yang haram, maka
sarana menuju
yang haram
tersebut menjadi
haram)
4. Wasail makruh
makruhatun
(Perantara kepada
perkara yang
makruh juga dinilah
makruh)
Maka lihatlah
kaedah derivat
yang ketiga di atas.
Intinya, jika
facebook digunakan
untuk yang haram
dan sia-sia, maka
facebook menjadi
haram dan
terlarang.
Kita dapat melihat
bahwa tidak sedikit di
antara pengguna
facebook yang
melakukan hubungan
gelap di luar nikah di
dunia maya. Padahal
lawan jenis yang diajak
berhubungan bukanlah
mahram dan bukan istri.
Sungguh, banyak terjadi
perselingkuhan karena
kasus semacam ini. Jika
memang facebook
banyak digunakan
untuk tujuan-tujuan
seperti ini, maka
sungguh kami katakan,
“Hukum facebook
sebagaimana hukum
pemanfaatannya. Kalau
dimanfaatkan untuk
yang haram, maka
facebook pun menjadi
haram. ”
Waktu yang Sia-sia Di
Depan Facebook
Saudaraku, inilah yang
kami ingatkan untuk
para pengguna
facebook. Ingatlah
waktumu! Kebanyakan
orang betah berjam-jam
di depan facebook, bisa
sampai 5 jam bahkan
seharian, namun mereka
begitu tidak betah di
depan Al Qur ’an dan
majelis ilmu. Sungguh, ini
yang kami sayangkan
bagi saudara-saudaraku
yang begitu gandrung
dengan facebook. Oleh
karena itu, sadarlah!!
Semoga beberapa
nasehat ulama kembali
menyadarkanmu
tentang waktu dan
hidupmu.
Imam Asy Syafi’i
rahimahullah pernah
mengatakan,
“Aku pernah
bersama dengan
seorang sufi. Aku
tidaklah
mendapatkan
pelajaran darinya
selain dua hal.
Pertama, dia
mengatakan bahwa
waktu bagaikan
pedang. Jika kamu
tidak
memotongnya
(memanfaatkannya),
maka dia akan
memotongmu. ”
Lanjutan dari perkataan
Imam Asy Syafi ’i di atas,
“Kemudian orang
sufi tersebut
menyebutkan
perkataan lain: Jika
dirimu tidak
tersibukkan dengan
hal-hal yang baik
(haq), pasti akan
tersibukkan dengan
hal-hal yang sia-sia
(batil). ” (Al Jawabul
Kafi, 109, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ibnul Qayyim
rahimahullah
mengatakan,
“Waktu manusia
adalah umurnya
yang sebenarnya.
Waktu tersebut
adalah waktu yang
dimanfaatkan
untuk
mendapatkan
kehidupan yang
abadi dan penuh
kenikmatan dan
terbebas dari
kesempitan dan
adzab yang pedih.
Ketahuilah bahwa
berlalunya waktu
lebih cepat dari
berjalannya awan
(mendung).
Barangsiapa yang
waktunya hanya
untuk ketaatan dan
beribadah pada
Allah, maka itulah
waktu dan
umurnya yang
sebenarnya. Selain
itu tidak dinilai
sebagai
kehidupannya,
namun hanya
teranggap seperti
kehidupan binatang
ternak. ”
Ingatlah … kematian
lebih layak bagi orang
yang menyia-nyiakan
waktu.
Ibnul Qayyim
mengatakan perkataan
selanjutnya yang sangat
menyentuh qolbu,
“Jika waktu hanya
dihabiskan untuk
hal-hal yang
membuat lalai,
untuk sekedar
menghamburkan
syahwat (hawa
nafsu), berangan-
angan yang batil,
hanya dihabiskan
dengan banyak
tidur dan digunakan
dalam kebatilan,
maka sungguh
kematian lebih
layak bagi
dirinya. ” Marilah Memanfaatkan
Facebook untuk
Dakwah
Inilah pemanfaatan
yang paling baik yaitu
facebook dimanfaatkan
untuk dakwah. Betapa
banyak orang yang
senang dikirimi pesan
nasehat agama yang
dibaca di inbox, note
atau melalui link
mereka. Banyak yang
sadar dan kembali
kepada jalan kebenaran
karena membaca
nasehat-nasehat
tersebut.
Jadilah orang yang
bermanfaat bagi orang
lain apalagi dalam
masalah agama yang
dapat mendatangkan
kebahagiaan di dunia
dan akhirat.
Dari Jabir, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خيْرُ النَّاسِ
أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“ Sebaik-baik
manusia adalah
yang paling
memberikan
manfaat bagi orang
lain. ” (Al Jaami’ Ash
Shogir, no. 11608)
Dari Abu Mas’ud Al
Anshori, Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ
فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ
فَاعِلِهِ
“ Barangsiapa
memberi petunjuk
pada orang lain,
maka dia mendapat
ganjaran
sebagaimana
ganjaran orang
yang
melakukannya.” (HR.
Muslim)
Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa sallam juga
bersabda,
لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ
رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ
مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ
حُمْرُ النَّعَمِ
“ Jika Allah
memberikan
hidayah kepada
seseorang melalui
perantaraanmu
maka itu lebih baik
bagimu daripada
mendapatkan unta
merah (harta yang
paling berharga
orang Arab saat
itu). ” (HR. Bukhari
dan Muslim)sumber face book forum santri lirboyo ampuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar